BAGAIMANA dengan di Indonesia? Tokoh pers nasional,
Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya “PWI di Arena Masa” (1998) menulis,
Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri mingguan Medan
Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi harian, sebagai pemrakarsa pers
nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali
modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.
Gambar ini diambil dari sini |
Dalam perkembangan selanjutnya, pers Indonesia menjadi salah
satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Haryadi Suadi menyebutkan, salah
satu fasilitas yang pertama kali direbut pada masa awal kemerdekaan adalah
fasilitas percetakan milik perusahaan koran Jepang seperti Soeara Asia
(Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang) (“PR”, 23 Agustus
2004).
Menurut Haryadi, kondisi pers Indonesia semakin menguat pada
akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran yang mempropagandakan kemerdekaan
Indonesia seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), dan The
Voice of Free Indonesia.
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai
dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat,
pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat
beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan
kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah.
Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang
menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah
memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia,
terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang
bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru.
Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar.
Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan
pemberitaan sensasional semacam itu.
Teknologi dalam jurnalisme
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan
teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat
berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah
mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa
ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS
menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu.
Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum
banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu.
Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing
baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media
cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio
lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat
sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era
1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline
bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan
secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan
sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.
Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak
terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook
yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman
berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah
memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun.
Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik
multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah berbagai segmen
pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi
yang mereka jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak
kalah luasnya.
Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk
juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi
menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau
elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating
datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi
internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang
juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini
adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog saja.
Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi
banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online
Journalism Review, J.D Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu
bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan sumber untuk berita.
Dalam penggunaan teknologi, Indonesia mungkin agak terlambat
dibanding dengan media massa dari negara maju seperti AS, Prancis, dan Inggris.
Tetapi untuk saat ini penggunaan teknologi di Indonesia –terutama untuk media
televisi– sudah sangat maju. Lihat saja bagaimana Metro TV melakukan laporan live
dari Banda Aceh, selang sehari setelah tsunami melanda wilayah itu. Padahal
saat itu aliran listrik dan telefon belum tersambung. (Zaky/”PR”)***
Tulisan ini diambil dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar